Gerhana
Bulan adalah peristiwa ketika terhalanginya cahaya Matahari oleh Bumi sehingga
tidak semuanya sampai ke Bulan. Peristiwa yang merupakan salah satu akibat
dinamisnya pergerakan posisi Matahari, Bumi dan Bulan ini hanya terjadi pada
saat fase bulan purnama. Adapun Gerhana Matahari adalah peristiwa terhalangnya
cahaya Matahari oleh Bulan sehingga tidak sampai ke Bumi dan selalu terjadi
pada saat fase bulan baru. Kedua kejadian alam ini dapat diprediksi sebelumnya.
Pada
tahun 2012 ini diprediksi terjadi 4 (empat) kali gerhana, yaitu 2 (dua) buah
Gerhana Matahari dan 2 (dua) buah Gerhana Bulan. Gerhana Matahari tersebut
adalah berupa Gerhana Matahari Cincin (GMC) yang terjadi pada 21 Mei 2012 dan
Gerhana Matahari Total (GMT) yang terjadi pada tanggal 14 November 2012. Adapun
Gerhana Bulan yang terjadi adalah Gerhana Bulan Sebagian (GBS) yang terjadi
pada 04 Juni 2012 dan Gerhana Bulan Penumbra (GBP) yang terjadi pada 28
November 2012.
Demikian
informasi yang kami dapatkan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
yang diumumkan melalui situs remsi BMKG. [Penjelasan lengkap bisa dibaca di sini | pdf.]
Sebagai
Ummat Islam, penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana Islam menghadapi
moment semacam ini? Tentu saja, bukan hanya melewatkannya dengan berfoto-foto
ria. Islam punya tuntunan sendiri dalam hal ini sebagaimana yang dituntunkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Simak pembahasan berikut ini.
Keyakinan
Keliru
Banyak
masyarakat awam yang tidak paham bagaimana menghadapi fenomena alami ini.
Banyak di antara mereka yang mengaitkan kejadian alam ini dengan mitos-mitos
dan keyakinan khurofat yang menyelisihi aqidah yang benar. Di antaranya, ada
yang meyakini bahwa di saat terjadinya gerhana, ada sesosok raksasa besar yang
sedang berupaya menelan matahari sehingga wanita yang hamil disuruh bersembunyi
di bawah tempat tidur dan masyarakat menumbuk lesung dan alu untuk mengusir
raksasa.
Ada
juga masyarakat yang meyakini bahwa bulan dan matahari adalah sepasang kekasih,
sehingga apabila mereka berdekatan maka akan saling memadu kasih sehingga
timbullah gerhana sebagai bentuk percintaan mereka.
Sebagian
masyarakat seringkali mengaitkan peristiwa gerhana dengan kejadian-kejadian
tertentu, seperti adanya kematian atau kelahiran, dan kepercayaan ini dipercaya
secara turun temurun sehingga menjadi keyakinan umum masyarakat.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membantah keyakinan orang Arab tadi.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ
آيَاتِ
اللَّهِ ،
لاَ
يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ
وَلاَ
لِحَيَاتِهِ ،
فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ
فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ،
وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara
tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian
seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat gerhana tersebut, maka
berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR.
Bukhari no. 1044)
Memang
pada saat terjadinya gerhana matahari, bertepatan dengan meninggalnya anak Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam yang bernama Ibrahim. Dari Al Mughiroh bin
Syu’bah, beliau berkata,
كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى
عَهْدِ
رَسُولِ اللَّهِ – صلى
الله
عليه
وسلم
– يَوْمَ
مَاتَ
إِبْرَاهِيمُ ،
فَقَالَ النَّاسُ كَسَفَتِ الشَّمْسُ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى
الله
عليه
وسلم
– « إِنَّ
الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ
يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ
وَلاَ
لِحَيَاتِهِ ،
فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ »
”Di
masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari
ketika hari kematian Ibrahim. Kemudian orang-orang mengatakan bahwa munculnya
gerhana ini karena kematian Ibrahim. Lantas Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda, ‘Sesungguhnya gerhana matahari dan
bulan tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian
melihat gerhana tersebut, maka shalat dan berdo’alah.’” (HR. Bukhari no. 1043)
Ibrahim
adalah anak dari budak Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yang bernama
Mariyah Al Qibthiyyah Al Mishriyyah. Ibrahim hidup selama 18 bulan. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak memiliki anak kecuali dari Khadijah dan budak ini.
Tatkala Ibrahim meninggal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meneteskan
air mata dan begitu sedih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
mengatakan ketika kematian anaknya ini,
إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ ،
وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ ،
وَلاَ
نَقُولُ إِلاَّ
مَا
يَرْضَى رَبُّنَا ،
وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا
إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
”Air mata ini mengalir dan hati ini bersedih. Kami tidak mengatakan
kecuali yang diridhoi Allah. Sungguh -wahai Ibrahim-karena kepergianmu ini,
kami bersedih.” (HR.
Bukhari no. 1303) (Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, 2/305,
Darul Atsar, cetakan pertama, 1425 H)
Itulah
keyakinan-keyakinan keliru yang seharusnya tidak dimiliki seorang muslim
ketika terjadi fenomena semacam ini. Selanjutnya kami akan menjelaskan mengenai
gerhana, shalat gerhana dan hal-hal yang mesti kita lakukan ketika itu. Kami
tidak ingin berpanjang-panjang lebar mengenai hal ini. Kami cukup menyampaikan
secara ringkas, sehingga pembaca bisa lebih mudah memahami.
Apa
yang Dimaksud Dengan Gerhana Matahari?
Kalau
dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang pernah kita pelajari dahulu,
fenomena gerhana matahari adalah seperti pada gambar ini.
Gerhana Matahari
Posisi
gerhana matahari adalah bulan berada di tengah-tengah antara matahari dan bumi.
Jadi, bulan ketika itu menghalangi sinar matahari yang akan sampai ke bumi. Ini
gambaran singkat mengenai gerhana matahari.
Menurut
pakar bahasa Arab, mereka mengatakan bahwa kusuf adalah terhalangnya
cahaya matahari atau berkurangnya cahaya matahari disebabkan bulan yang
terletak di antara matahari dan bumi. Inilah yang dimaksud gerhana matahari.
Sedangkan khusuf adalah sebutan untuk gerhana bulan. (Al Mu’jamul
Wasith, hal. 823)
Jadi
ada dua istilah dalam pembahasan gerhana yaitu kusuf dan khusuf. Kusuf
adalah gerhana matahari, sedangkan khusuf adalah gerhana bulan.
Definisi
yang tepat jika kita katakan: Kalau kusuf dan khusuf tidak
disebut berbarengan maka kusuf dan khusuf bermakna satu yaitu
gerhana matahari atau gerhana bulan. Namun kalau kusuf dan khusuf
disebut berbarengan, maka kusuf bermakna gerhana matahari,
sedangkan khusuf bermakna gerhana bulan. (Lihat Syarhul
Mumthi’ ’ala Zadil Mustaqni’, 2/424, Dar Ibnul Haitsam)
Pendapat
Syaikh Ibnu Utsaimin inilah yang akan ditemukan dalam beberapa hadits. Kadang
dalam suatu hadits menggunakan kata khusuf, namun yang dimaksudkan
adalah gerhana matahari atau gerhana bulan karena khusuf pada saat itu
disebutkan tidak berbarengan dengan kusuf.
Wajib
atau Sunnahkah Shalat Gerhana?
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa hukum shalat
gerhana matahari adalah sunnah mu’akkad (sunnah yang sangat ditekankan).
Namun, menurut Imam Abu Hanifah, shalat gerhana dihukumi wajib. Imam Malik
sendiri menyamakan shalat gerhana dengan shalat Jum’at. Kalau kita
timbang-timbang, ternyata para ulama yang menilai wajib memiliki dalil yang
kuat. Karena dari hadits-hadits yang menceritakan mengenai shalat gerhana
mengandung kata perintah (jika kalian melihat gerhana tersebut, shalatlah:
kalimat ini mengandung perintah). Padahal menurut kaedah ushul fiqih, hukum
asal perintah adalah wajib. Pendapat yang menyatakan wajib inilah yang dipilih
oleh Asy Syaukani, Shodiq Khoon, dan Syaikh Al Albani rahimahumullah.
Para
Ulama Berbeda Pendapat Mengenai Hukum Shalat Gerhana Bulan
Pendapat
pertama menyatakan bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah mu’akkad
sebagaimana shalat gerhana matahari (ini bagi yang menganggap shalat gerhana
matahari adalah sunnah mu’akkad, pen) dan dilakukan secara berjama’ah. Inilah
pendapat yang dipilih oleh Asy Syafi’i, Ahmad, Daud, dan Ibnu Hazm. Pendapat
ini juga dipilih oleh ’Atho’, Al Hasan, An Nakho’i dan Ishaq, bahkan pendapat
ini diriwayatkan pula dari Ibnu ’Abbas.
Pendapat
kedua yang menyatakan bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah seperti
shalat sunnah biasa yaitu dilakukan tanpa ada tambahan ruku’ (lihat penjelasan
mengeanai tata cara shalat gerhana selanjutnya, pen). Menurut pendapat ini,
shalat gerhana bulan tidak perlu dilakukan secara berjama’ah. Inilah pendapat
Abu Hanifah dan Malik.
Manakah
yang lebih kuat? Pendapat pertama dinilai lebih kuat, karena Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam memerintahkan untuk shalat ketika melihat kedua gerhana
tersebut tanpa beliau bedakan (Lihat pembahasan ini di Shohih Fiqh Sunnah,
1/432-433, Al Maktabah At Taufiqiyah). Juga ada dalil yang mendukung
pendapat pertama tadi. Dalilnya adalah:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى
الصَّلاَةِ
”Jika kalian melihat kedua gerhana yaitu gerhana matahari dan
bulan, bersegeralah menunaikan shalat.” (HR. Bukhari no. 1047)
Kita
kembali lagi pada pembahasan di atas. Kami nilai sendiri bahwa shalat gerhana
adalah wajib sebagaimana yang juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’.
Kalau
ada yang mengatakan bahwa shalat yang wajib itu hanyalah shalat lima waktu
saja. Maka para ulama yang menyatakan wajibnya shalat gerhana akan menyanggah,
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyebut shalat lima waktu itu wajib karena
shalat tersebut berulang di setiap waktu dan tempat (maksudnya: shalat lima waktu
adalah shalat yang diwajibkan setiap saat dan bukan karena sebab, pen).
Adapun shalat gerhana dan tahiyatul masjid (bagi yang menilai hukum shalat
tahiyatul masjid adalah wajib) atau shalat semacam itu, maka shalat-shalat ini wajib
karena ada sebab tertentu. Maka shalat-shalat ini bukan seperti shalat
wajib mutlaq (maksudnya: berbeda dengan shalat lima waktu). Misalnya saja ada
seseorang bernadzar akan menunaikan shalat dua raka’at. Shalat karena nadzar
ini wajib dia kerjakan walaupun shalat tersebut bukan shalat lima waktu. Shalat
ini wajib dikerjakan karena sebab dia bernadzar. Jadi, shalat yang wajib karena
sebab tertentu tidak seperti shalat wajib muthlaq yang tanpa sebab.”
Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, ”Inilah pendapat yang kami nilai
kuat. Namun sangat disayangkan orang-orang malah lebih senang melihat fenomena
gerhana matahari atau gerhana bulan dan mereka tidak memperhatikan kewajiban
yang satu ini. Semua hanya sibuk dengan dagangan, hanya berfoya-foya atau sibuk
di ladang. Kami takutkan, mungkin saja gerhana ini adalah tanda diturunkannya
adzab sebagaimana yang Allah takut-takuti melalui gerhana ini. Kesimpulannya,
pendapat yang menyatakan wajib lebih kuat daripada yang menyatakan sekedar
dianjurkan.” (Lihat penjelasan yang sangat menarik ini di Syarhul Mumthi’,
2/429)
Jadi
bagi siapa saja yang melihat gerhana, maka dia wajib menunaikan shalat gerhana.
Wallahu a’lam, wal ’ilmu ’indallah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah
untuk melaksanakannya.
Waktu
Pelaksanaan Shalat Gerhana
Waktu
pelaksanaan shalat gerhana adalah mulai ketika gerhana muncul sampai gerhana
tersebut hilang.
Dari
Al Mughiroh bin Syu’bah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ
آيَاتِ
اللَّهِ ،
لاَ
يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ
وَلاَ
لِحَيَاتِهِ ،
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى
يَنْجَلِىَ
”Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda
kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau
lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu
shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).” (HR. Bukhari no. 1060 dan Muslim no. 904)
Shalat
gerhana juga boleh dilakukan pada waktu terlarang untuk shalat. Jadi, jika
gerhana muncul setelah Ashar, padahal waktu tersebut adalah waktu terlarang
untuk shalat, maka shalat gerhana tetap boleh dilaksanakan. Dalilnya adalah:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى
الصَّلاَةِ
”Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.” (HR. Bukhari no. 1047). Dalam hadits ini tidak dibatasi waktunya. Kapan saja melihat gerhana termasuk waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.
”Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.” (HR. Bukhari no. 1047). Dalam hadits ini tidak dibatasi waktunya. Kapan saja melihat gerhana termasuk waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.
Hal-Hal
yang Dianjurkan Ketika Terjadi Gerhana
Pertama: perbanyaklah dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan bentuk
ketaatan lainnya. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ
آيَاتِ
اللَّهِ ،
لاَ
يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ
وَلاَ
لِحَيَاتِهِ ،
فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ
فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ،
وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara
tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian
seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah
kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)
Kedua: keluar mengerjakan shalat gerhana secara berjama’ah di
masjid.
Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini sebagaimana dalam hadits dari ’Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengendari kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melewati kamar istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu beliau berdiri dan menunaikan shalat. (HR. Bukhari no. 1050). Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendatangi tempat shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di situ. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/343)
Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini sebagaimana dalam hadits dari ’Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengendari kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melewati kamar istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu beliau berdiri dan menunaikan shalat. (HR. Bukhari no. 1050). Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendatangi tempat shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di situ. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/343)
Ibnu
Hajar mengatakan, ”Yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam adalah mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak
demikian, tentu shalat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar
nanti lebih mudah melihat berakhirnya gerhana.” (Fathul Bari, 4/10)
Lalu
apakah mengerjakan dengan jama’ah merupakan syarat shalat gerhana? Perhatikan
penjelasan menarik berikut.
Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, ”Shalat gerhana secara jama’ah
bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh
melaksanakan shalat gerhana di rumah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam,
فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا
”Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah.” (HR. Bukhari no. 1043)
Dalam
hadits ini, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mengatakan,
”(Jika kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh karena itu, hal
ini menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun
seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun, tidak diragukan lagi
bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih utama
(afdhol). Bahkan lebih utama jika shalat tersebut dilaksanakan di masjid
karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengerjakan shalat tersebut di
masjid dan mengajak para sahabat untuk melaksanakannya di masjid. Ingatlah,
dengan banyaknya jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an. Dan banyaknya jama’ah
juga adalah sebab terijabahnya (terkabulnya) do’a.” (Syarhul Mumthi’,
2/430)
Ketiga: wanita juga boleh shalat gerhana bersama kaum pria.Dari
Asma` binti Abi Bakr, beliau berkata,
أَتَيْتُ عَائِشَةَ – رضى
الله
عنها
– زَوْجَ
النَّبِىِّ – صلى
الله
عليه
وسلم
– حِينَ
خَسَفَتِ الشَّمْسُ ،
فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ،
وَإِذَا هِىَ
قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا
لِلنَّاسِ فَأَشَارَتْ بِيَدِهَا إِلَى
السَّمَاءِ ،
وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ . فَقُلْتُ آيَةٌ
فَأَشَارَتْ أَىْ
نَعَمْ
“Saya
mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha -isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam- ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan
shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk melakukan sholat, saya bertanya:
‘Kenapa orang-orang ini?’ Aisyah mengisyaratkan tangannya ke langit seraya
berkata, ‘Subhanallah (Maha Suci Allah).’ Saya bertanya: ‘Tanda (gerhana)?’
Aisyah lalu memberikan isyarat untuk mengatakan iya.” (HR. Bukhari no. 1053)
Bukhari
membawakan hadits ini pada bab:
صَلاَةِ النِّسَاءِ مَعَ
الرِّجَالِ فِى
الْكُسُوفِ
”Shalat
wanita bersama kaum pria ketika terjadi gerhana matahari.”
Ibnu
Hajar mengatakan,
أَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَة إِلَى
رَدّ
قَوْل
مَنْ
مَنَعَ
ذَلِكَ
وَقَالَ : يُصَلِّينَ فُرَادَى
”Judul
bab ini adalah sebagai sanggahan untuk orang-orang yang melarang wanita tidak
boleh shalat gerhana bersama kaum pria, mereka hanya diperbolehkan shalat
sendiri.” (Fathul Bari, 4/6)
Kesimpulannya,
wanita boleh ikut serta melakukan shalat gerhana bersama kaum pria di
masjid. Namun, jika ditakutkan keluarnya wanita tersebut akan membawa fitnah
(menggoda kaum pria), maka sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah. (Lihat
Shohih Fiqh Sunnah, 1/345)
Keempat: menyeru jama’ah dengan panggilan “ash sholatu
jaami’ah” dan tidak ada adzan maupun iqomah.Dari ’Aisyah radhiyallahu
’anha, beliau mengatakan,
أنَّ الشَّمس خَسَفَتْ عَلَى
عَهْدِ
رَسولِ
اللهِ
صلى
الله
عليه
وسلم،
فَبَعَثَ مُنَادياً يُنَادِي: الصلاَةَ جَامِعَة، فَاجتَمَعُوا. وَتَقَدَّمَ فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ
رَكَعَاتٍ في
ركعَتَين وَأربعَ سَجَدَاتٍ.
“Aisyah
radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk
memanggil jama’ah dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan
shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir.
Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901). Dalam hadits ini tidak diperintahkan
untuk mengumandangkan adzan dan iqomah. Jadi, adzan dan iqomah tidak ada dalam
shalat gerhana.
Kelima: berkhutbah setelah shalat gerhana.
Disunnahkah setelah shalat gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435). Hal ini berdasarkan hadits:
Disunnahkah setelah shalat gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435). Hal ini berdasarkan hadits:
عَنْ عَائِشةَ رَضي
الله
عَنْهَا قَالَتْ: خَسَفَتِ الشمسُ
عَلَى
عَهدِ
رَسُول
الله
صلى
الله
عليه
وسلم.
فَقَامَ فَصَلَّى رَسُولُ الله
صلى
الله
عليه
وسلم
بالنَّاس فَأطَالَ القِيَام، ثُمَّ
رَكَعَ
فَأطَالَ الرُّكُوعَ، ثُمَّ
قَامَ
فَأطَالَ القيَامَ وَهو
دُونَ
القِيَام الأوَّلِ، ثم
رَكَعَ
فَأطَالَ الرُّكوعَ وهُوَ
دُونَ
الرُّكُوعِ الأوَّلِ، ثُم
سَجَدَ
فَأطَالَ السُّجُودَ، ثم
فَعَلَ
في
الركعَةِ الأخْرَى مِثْل
مَا
فَعَل
في
الركْعَةِ الأولى، ثُمَّ
انصرَفَ وَقَدْ
انجَلتِ الشَّمْسُ، فَخَطبَ الناسَ
فَحَمِدَ الله
وأثنَى
عَليهِ
ثم
قالَ:
” إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ آيَاتِ الله لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا وَتَصَدَّ قوا”.
ثم قال: ” يَا أمةَ مُحمَّد ” : والله مَا مِنْ أحَد أغَْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ من أن يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ تَزني أمَتُهُ. يَا أمةَ مُحَمد، وَالله لو تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ قَليلاً وَلَبَكَيتم كثِيراً “.
” إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ آيَاتِ الله لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا وَتَصَدَّ قوا”.
ثم قال: ” يَا أمةَ مُحمَّد ” : والله مَا مِنْ أحَد أغَْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ من أن يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ تَزني أمَتُهُ. يَا أمةَ مُحَمد، وَالله لو تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ قَليلاً وَلَبَكَيتم كثِيراً “.
Dari
Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian
beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan
memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang
sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut
namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan
memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya, beliau mengerjakannya
seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi),
sedangkan matahari telah nampak. Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang
banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda, ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara
tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian
seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah
kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
Nabi
selanjutnya bersabda, ”Wahai umat Muhammad, demi
Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang
hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi
Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit
tertawa dan banyak menangis.”
(HR. Bukhari, no. 1044)
Khutbah
yang dilakukan adalah sekali sebagaimana shalat ’ied, bukan dua kali khutbah.
Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Imam Asy Syafi’i. (Lihat Syarhul
Mumthi’, 2/433)
Tata
Cara Shalat Gerhana
Shalat
gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini berdasarkan kesepakatan
para ulama. Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai tata caranya.
Ada
yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa,
dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud. Ada
juga yang berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan dengan dua raka’at dan
setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali sujud. Pendapat yang terakhir
inilah yang lebih kuat sebagaimana yang dipilih oleh mayoritas ulama. (Lihat Shohih
Fiqh Sunnah, 1/435-437)
Hal
ini berdasarkan hadits-hadits tegas yang telah kami sebutkan:
“Aisyah
radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk
menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah).
Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan
empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901)
“Aisyah
menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan
mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan
memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri
tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau
ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’
yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada
raka’at berikutnya beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau
beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.” (HR. Bukhari, no. 1044)
Ringkasnya,
agar tidak terlalu berpanjang lebar, tata cara shalat gerhana adalah sebagai
berikut:
[1]
Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan
karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi
kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa
sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu
kepada para sahabatnya.
[2]
Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.
[3]
Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan
membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan
(dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:
جَهَرَ النَّبِىُّ – صلى
الله
عليه
وسلم
– فِى
صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ
”Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)
[4]
Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.
[5]
Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN
HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’
[6]
Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca
surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat
dari yang pertama.
[7]
Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’
sebelumnya.
[8]
Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).
[9]
Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua
sujud kemudian sujud kembali.
[10]
Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at
pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
[11]
Salam.
[12]
Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran
untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. (Lihat Zaadul
Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr dan Shohih Fiqih
Sunnah, 1/438)
Nasehat
Terakhir
Saudaraku,
takutlah dengan fenomena alami ini. Sikap yang tepat ketika fenomena gerhana
ini adalah takut, khawatir akan terjadi hari kiamat. Bukan kebiasaan orang
seperti kebiasaan orang sekarang ini yang hanya ingin menyaksikan peristiwa
gerhana dengan membuat album kenangan fenomena tersebut, tanpa mau mengindahkan
tuntunan dan ajakan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika itu. Siapa
tahu peristiwa ini adalah tanda datangnya bencana atau adzab, atau tanda
semakin dekatnya hari kiamat. Lihatlah yang dilakukan oleh Nabi kita shallallahu
’alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِى
مُوسَى
قَالَ
خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى
زَمَنِ
النَّبِىِّ -صلى
الله
عليه
وسلم-
فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ
تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى
أَتَى
الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ مَا
رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى
صَلاَةٍ قَطُّ
ثُمَّ
قَالَ
« إِنَّ
هَذِهِ
الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ
تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ
وَلاَ
لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا
عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى
ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ ».
Abu
Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan, ”Pernah terjadi gerhana matahari
pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut
karena khawatir akan terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid
kemudian beliau mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang lama.
Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.”
Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, ”Sesungguhnya
ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut
tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah
menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat
sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan
memohon ampun kepada Allah.”
(HR. Muslim no. 912)
An
Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai maksud kenapa Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam takut, khawatir terjadi hari kiamat. Beliau rahimahullah
menjelaskan dengan beberapa alasan, di antaranya:
Gerhana
tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum tanda-tanda kiamat seperti
terbitnya matahari dari barat atau keluarnya Dajjal. Atau mungkin gerhana
tersebut merupakan sebagian tanda kiamat. (Syarh Muslim, 3/322)
Hendaknya
seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir akan tertimpa adzab-Nya.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja sangat takut ketika itu, padahal
kita semua tahu bersama bahwa beliau shallallahu ’alaihi wa sallam
adalah hamba yang paling dicintai Allah. Lalu mengapa kita hanya melewati
fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja, mungkin hanya diisi dengan
perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia, bahkan mungkin diisi dengan berbuat
maksiat. Na’udzu billahi min dzalik.
Sumber :https://abangdani.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar