Siapakah Abdul Qadir
Al-Jailani?
Tahukah anda siapa itu
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani?
Ya, semua orang tahu siapa itu Abdul Qadir Jailani. Mulai dari anak-anak kecil sampai orang-orang tua pun tahu tentang Abdul Qadir Jailani, sampai para tukang becak pun tahu akan siapa tokoh ini. Sampai-sampai jika ada orang yang bernama Abdul Qadir, maka orang akan mudah menghafal namanya disebabkan namanya ada kesamaan dengan nama Abdul Qadir Jailani. Yang jelas, selama orangnya muslim, pasti tahu siapa itu Abdul Qadir Jailany. Ya minimal namanya.
Ya, semua orang tahu siapa itu Abdul Qadir Jailani. Mulai dari anak-anak kecil sampai orang-orang tua pun tahu tentang Abdul Qadir Jailani, sampai para tukang becak pun tahu akan siapa tokoh ini. Sampai-sampai jika ada orang yang bernama Abdul Qadir, maka orang akan mudah menghafal namanya disebabkan namanya ada kesamaan dengan nama Abdul Qadir Jailani. Yang jelas, selama orangnya muslim, pasti tahu siapa itu Abdul Qadir Jailany. Ya minimal namanya.
Pendidikannya
Pada usia yang masih muda beliau telah merantau ke Baghdad dan meninggalkan
tanah kelahirannya. Di sana beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti
Ibnu Aqil, Abul Khatthath, Abul Husein Al Farra' dan juga Abu Sa'ad Al
Mukharrimi sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga
perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
Pemahamannya
Pemahamannya
Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada
masa hidup beliau. Beliau adalah seorang alim yang beraqidah ahlus sunnah
mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah.
Tetapi banyak pula orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau.
Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran,
"thariqah" yang berbeda dengan jalan Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wa sallam, para sahabatnya dan lainnya.
Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, "Dia (Allah) di arah atas, berada di atas 'ArsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu. "Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadits-hadits, lalu berkata, "Sepantasnya menetapkan sifat istiwa' (Allah berada di atas 'ArsyNya) tanpa takwil (menyimpangkan kepada makna lain). Dan hal itu merupakan istiwa' dzat Allah di atas 'Arsy
Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, "Dia (Allah) di arah atas, berada di atas 'ArsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu. "Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadits-hadits, lalu berkata, "Sepantasnya menetapkan sifat istiwa' (Allah berada di atas 'ArsyNya) tanpa takwil (menyimpangkan kepada makna lain). Dan hal itu merupakan istiwa' dzat Allah di atas 'Arsy
Kemasyhuran nama beliau
ini disebabkan karena keutamaan dan jasa-jasa beliau terhadap umat dalam
menyebarkan dan membela aqidah ahlus sunnah wal jama’ah (hal ini bisa dilihat
dalam kitabnya yang terkenal “Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq”, bahkan beliau
pun telah membantah dengan tegas terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah).
Sehingga tidaklah
mengherankan jika nama Syaikh Abdul Qodir Jailani
disanjung dan dicintai oleh kaum muslimin, sampai saat sekarang ini. Beliau
adalah seorang alim yang beraqidah ahlus sunnah mengikuti jalan salafush
shalih, lahir di Baghdad pada tahun 470H, tepatnya di kota Jailan, karenanya di
akhir nama beliau ditambahkan kata al Jailani. Allah telah memberikan
keberkahan dan karomah kepadanya karena keimanan dan ketakwaannya. Hanya saja
sebagian dari kaum muslimin yang ghuluw (berlebih-lebih) dalam mengagungkan Syaikh Abdul Qodir Jailani
telah membuat kedustaan-kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa
kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran dan keyakinan-keyakinan yang
menyelisihi ajaran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya.
Sebagaimana
kedustaan-kedustaan atas nama Syaikh Abdul Qodir Jailani
ini telah tersebar di Indonesia yang dikemas dalam suatu acara atau budaya
ritual yang dikenal dengan nama “manaqiban”.
“Manaqiban” adalah
pembacaan autobiografi (riwayat hidup) Syaikh Abdul Qodir Jailani
untuk mengenang beliau dan mengambil hikmah dari kisah-kisah ritual yang beliau
alami dimasa hidupnya.
Kegiatan ini sudah menjadi
acara tradisi yang dianggap oleh mereka sebagai bentuk jalinan kecintaan untuk
terus-menerus menyambung tali silaturahmi dengan Syaikh Abdul Qadir al Jailani
yang dikenal dikalangan mereka dengan “shulthonul auliya” (Rajanya para wali).
Banyak sekali kisah-kisah
palsu tentang karomah-karomah Syaikh Abdul Qodir Jailani dalam manaqiban yang
sering mereka baca, diantaranya adalah, kisah Syaikh
Abdul Qodir Jailani menghidupkan ayam yang telah mati, merebut
ruh yang telah dicabut oleh malakul maut di atas langit dan dikembalikan
kejasadnya semula, berdialog dengan kambing dll, semua kisah-kisah dusta tsb
mereka konsumsi mentah-mentah dan diyakini kebenarannya, lebih dari itu mereka
memiliki anggapan bahwa “Syaikh Abdul Qodir Jailani
derajatnya berada di atas Nabi Muhammad shalallohu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana halnya (menurut mereka) bahwa Khidir yang menjadi wali Allah
memiliki kedudukan, wawasan dan ilmu yang lebih tinggi dari pada Musa yang
menjadi Rasul Allah.
Sungguh argumen yang
sangat keliru, karena bertentangan dengan dalil-dalil syar’i yang menyatakan
bahwa Muhammad shalallohu ‘alaihi wa sallam adalah pemimpin para nabi dan
rasul, manusia yang paling mulya di sisi Allah dari seluruh manusia dan makhluk
lainnya.
Ada juga sebagian mereka
yang menjadikan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani
sebagai wasilah (perantara) dalam berdo’a kepada Allah, mereka beranggapan
bahwa do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala, kecuali dengan
perantaraan Syaikh Abdul Qodir Jailani.
Perbuatan ini merupakan salah satu dari yang membatalkan keislaman seorang
muslim menurut kesepakatan para ulama (ijma’), berdasarkan firman Allah di
dalam al quran,
“Ingatlah, hanya
kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara
mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak
menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (az zumar:3)
Berikut adalah kutipan
dari ucapan seorang mursyid (pembimbing) di acara manaqiban suryalaya
Tasikmalaya,
“Meskipun didalam
manaqiban terdapat bermacam-macam karomah Syaikh Abdul Qodur Jailani yang berada diluar kebiasaan manusia, kita harus
percaya dan jangan ragu-ragu, karena itulah karomah. Di dalam al-Qur’anpun
bermacam-macam keluarbiasaan dari seorang manusia yang telah dimuliakan oleh
Allah bisa kita baca seperti dalam kisah Ashabul Kahfi, kisah Siti Maryam dan
lain-lain. Mereka bukanlah Rasul yang diberikan mu’jizat tapi hanya seorang
yang telah dimuliakan oleh Allah dengan karomahnya. Syaikh ‘Abdul Qodir Jailani
mengatakan, barang siapa yang ingin berhubungan denganku, ingin aku sampaikan
kepada Allah permohonanmu, maka ucapkanlah : Bismillaahi, ‘alaa niyyati sayyidi
syekh ‘abdul Qodir Jailani.” (Suatu
pendustaan yang mengatas namakan syaikh Abdul Qodir Jailani).
Sama halnya dengan orang
yang langsung meminta (berdo’a) kepada Syaikh Abdul Qodir Jailani
untuk dihilangkan kesempitan dan dipenuhi segala kebutuhannya. Inipun bentuk
pendholiman kepada Allah Ta’ala, karena doa adalah ibadah sedangkan ibadah itu
tidak boleh diperuntukkan kecuali hanya untuk Allah Ta’ala. Maka ketika meminta
(berdoa) kepada selain Allah berarti itu adalah syririk dan pendholiman yang
paling agung. Allah berfirman, “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku,
niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan
hina dina” (Ghafir:60).
Selain itu, merekapun
senang memajang gambar syaikh Abdul Qodir Jailani
di setiap tempat penting/utama, karena mereka meyakini “ada keberkahan dari
gambar tsb”. Benarkah gambar yang mereka pajang itu, asli gambar Syaikh Abdul Qodir Jailani
ataukah rekaan?(Itupun masih tanda tanya).
Rasulullah shalallohu
alaihi wa sallam telah bersikap tegas dalam masalah ini, sebagaimana
diriwiyatkan dari Aisyah Radiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah masuk menuju
saya dan saya menutup bilik dengan tirai tipis bergambar (dalam riwayat lain :
menggantungkan tirai tipis bergambar kuda bersayap…), maka ketika beliau
melihatnya, beliau -shalallohu ‘alaihi wa sallam- merobeknya dan dengan wajah
merah padam, beliau bersabda , “Hai Aisyah, manusia yang
paling keras disiksa di Hari Kiamat adalah mereka yang meniru ciptaan Allah.” Kata
Aisyah: “Maka kami memotong-motongnya lalu menjadikannya satu atau dua bantal.”
(Bukhori & Muslim).
Dalam riwayat yang lain
dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shalallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “ Malikat tidak
masuk rumah yang didalamnya ada anjing dan gambar” (HR Bukhari
& Muslim, dengan lafadz Muslim).”
Wal hasil, mereka lebih
senang merutinkan membaca “manaqiban”
(kisah-kisah dusta) daripada membaca Al quran (kalam Allah) yang mulya,
sesungguhnya syetan secara perlahan-lahan telah menggiring mereka untuk
meninggalkan Al quran dan sunnah serta menjadikan “manaqiban” sebagai pijakan
hidup dan aqidah mereka. Sungguh realita yang sangat
menyedihkan sekali. Nas alulloha alhidayata wattaufiqo.
Detik-detik Wafatnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Jasadnya memang sudah
terkubur lebih dari delapan abad. Namun nama dan tauladan hidupnya tetap
membekas kuat di kalangan umat Islam. Dialah Syekh Abdul Qadir al-Jailani,
ulama sufi kelahiran Persia yang kemasyhurannya setingkat dunia.
Syekh Abdul Qadir terkenal sebagai pribadi yang teguh dalam berprinsip, sang pencari sejati, dan penyuara kebenaran kepada siapapun, dan dengan risiko apapun. Usianya dihabiskan untuk menekuni jalan tasawuf, hingga ia mengalami pengalaman spiritual dahsyat yang mempengaruhi keseluruhan hidupnya. Jejak Syekh Abdul Qadir juga dijumpai dalam belasan karya orisinalnya.
Selain mewarisi banyak karya tulisan, Syekh Abdul Qadir meninggalkan beberapa buah nasehat menjelang kewafatannya. Akhir hayat Syekh didahului dengan kondisi kesehatannya yang terus menurun. Kala itu putra-putranya menghampiri dan mengajukan sejumlah pertanyaan.
”Berilah aku wasiat, wahai ayahku. Apa yang harus aku kerjakan sepergian ayah nanti?” tanya putra sulungnya, Abdul Wahab.
”Engkau harus senantiasa bertaqwa kepada Allah. Jangan takut kepada siapapun, kecuali Allah. Setiap kebutuhan mintalah kepada-Nya. Jangan berpegang selain kepada tali-Nya. Carilah segalanya dari Allah,” jawab sang ayah.
”Aku diumpamakan seperti batang yang tanpa kulit,” sambung Syekh Abdul Qadir. ”Menjauhlah kalian dari sisiku sebab yang bersamamu itu hanyalah tubuh lahiriah saja, sementara selain kalian, aku bersama dengan batinku.”
Putra lainnya, Abdul Azis, bertanya tentang keadaannya. ”Jangan bertanya tentang apapun dan siapapun kepadaku. Aku sedang kembali dalam ilmu Allah,” sahut Syekh Abdul Qadir.
Ketika ditanya Abdul Jabar, putranya yang lain, ”Apakah yang dapat ayahanda rasakan dari tubuh ayahanda?” Syekh Abdul Qadir menjawab, ”Seluruh anggota tubuhku terasa sakit kecuali hatiku. Bagaimana ia dapat sakit, sedang ia benar-benar bersama dengan Allah.”
”Mintalah tolong kepada Tuhan yang tiada tuhan yang wajib disembah kecuali Dia. Dialah Dzat yang hidup, tidak akan mati, tidak pernah takut karena kehilangannya.” Kematian pun segera menghampiri Syekh Abdul Qadir.
Syekh Abdul Qadir al-Jainlani menghembuskan nafas terakhir di Baghdad, Sabtu bakda maghrib, 9 Rabiul Akhir 561 H atau 15 Januari 1166 M, pada usia 89 tahun. Dunia berduka atas kepulangannya, tapi generasi penerus hingga sekarang tetap setia melanjutkan ajaran dan perjuangannya
Syekh Abdul Qadir terkenal sebagai pribadi yang teguh dalam berprinsip, sang pencari sejati, dan penyuara kebenaran kepada siapapun, dan dengan risiko apapun. Usianya dihabiskan untuk menekuni jalan tasawuf, hingga ia mengalami pengalaman spiritual dahsyat yang mempengaruhi keseluruhan hidupnya. Jejak Syekh Abdul Qadir juga dijumpai dalam belasan karya orisinalnya.
Selain mewarisi banyak karya tulisan, Syekh Abdul Qadir meninggalkan beberapa buah nasehat menjelang kewafatannya. Akhir hayat Syekh didahului dengan kondisi kesehatannya yang terus menurun. Kala itu putra-putranya menghampiri dan mengajukan sejumlah pertanyaan.
”Berilah aku wasiat, wahai ayahku. Apa yang harus aku kerjakan sepergian ayah nanti?” tanya putra sulungnya, Abdul Wahab.
”Engkau harus senantiasa bertaqwa kepada Allah. Jangan takut kepada siapapun, kecuali Allah. Setiap kebutuhan mintalah kepada-Nya. Jangan berpegang selain kepada tali-Nya. Carilah segalanya dari Allah,” jawab sang ayah.
”Aku diumpamakan seperti batang yang tanpa kulit,” sambung Syekh Abdul Qadir. ”Menjauhlah kalian dari sisiku sebab yang bersamamu itu hanyalah tubuh lahiriah saja, sementara selain kalian, aku bersama dengan batinku.”
Putra lainnya, Abdul Azis, bertanya tentang keadaannya. ”Jangan bertanya tentang apapun dan siapapun kepadaku. Aku sedang kembali dalam ilmu Allah,” sahut Syekh Abdul Qadir.
Ketika ditanya Abdul Jabar, putranya yang lain, ”Apakah yang dapat ayahanda rasakan dari tubuh ayahanda?” Syekh Abdul Qadir menjawab, ”Seluruh anggota tubuhku terasa sakit kecuali hatiku. Bagaimana ia dapat sakit, sedang ia benar-benar bersama dengan Allah.”
”Mintalah tolong kepada Tuhan yang tiada tuhan yang wajib disembah kecuali Dia. Dialah Dzat yang hidup, tidak akan mati, tidak pernah takut karena kehilangannya.” Kematian pun segera menghampiri Syekh Abdul Qadir.
Syekh Abdul Qadir al-Jainlani menghembuskan nafas terakhir di Baghdad, Sabtu bakda maghrib, 9 Rabiul Akhir 561 H atau 15 Januari 1166 M, pada usia 89 tahun. Dunia berduka atas kepulangannya, tapi generasi penerus hingga sekarang tetap setia melanjutkan ajaran dan perjuangannya
Biografi Syekh Abdul
Qadir Jaelani
Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Beliau adalah tuan kita, teladan
dari semua wali terbaik, papan arah menuju arah yang benar, beliau adalah poros
ketuhanan (Qutub Rabbani), nama lengkap beliau adalah Abu Shalih Sayyidi ‘Abdul
Qadir bin Musa bin ‘Abbdullah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin
Musa al-Jun bin ‘Abdullah al-Mahdhi bin al-Hasan al-Musatanna bin al-Hasan bin
Ali bin Abi Thalib. Beliau yang terkenal dengan nama ‘Abdul Qadir al-Jailani.
Beliau lahir pada tahun 470 H, dan wafat pada tahun 561 H. dimakamkan di
Baghdad.
Ibu beliau adalah Ummul Khair (dalam
bahasa arab berarti ibu kebaikan), ia pernah berkisah: “Ketika aku melahirkan
‘Abdul Qadir al-Jailani, dia tidak mau menyusu ke puntingku selama siang hari
bulan Ramadhan. Bulan baru Ramadhan suatu kali tertutup awan sehingga
orang-orang datang kepadaku dan bertanya tentang ‘Abdul Qadir al-Jailani, maka
aku katakan kepada mereka, bahwa ‘dia tidak menyusu pada puntiingku hari ini.’
Hal itu kemudian menjadi isyarat yang jelas bahwa hari itu adalah awal
Ramadhan.”
Kabar tersebut lalu menyebar luas,
bahwa seorang bocah (‘Abdul Qadir al-Jailani) lahir dengan membawa berbagai
kemuliaan (keajaiban), dan bahwa ia adalah bayi yang tidak mau menyusu di siang
hari Ramadhan. Dan dikabarkan pula, bahwa sang Ibunda mengandungnya ketika
berusia 16th. Dikatakan bahwa, tidak mungkin ada gadis 16th
bisa hamil kecuali dia perempuan Quraisy, dan tidak ada gadis 16th
yang bisa punya anak kecuali dia pasti orang Arab.
Ketika ‘Abdul Qadir al-Jailani
lahir, sang bayi disambut oleh tangan-tangan keanugerahan yang agung, dan sang
bayi diliputi oleh cahaya petunjuk di belakangnya maupun di depannya.
Ketika ‘Abdul Qadir al-Jailani berusia
5th, sang ibu mengirimkannya ke sebuah madrasah lokal di Jilan.
Beliau menuntut ilmu di madrasah tersebut hingga berumur 10th.
Selama belajar di madrasah tersebut, beberapa peristiwa menakjubkan terjadi.
Setiap kali ‘Abdul Qadir al-Jailani akan memasuki madrasah, beliau melihat
sosok-sosok bercahaya yang berjalan di depanya sambil berkata, “Beri
jalan untuk Wali Allah!” Dan ketika beliau pernah ditanya kapan beliau
mengetahui bahwa dirinya menerima walayah (pangkat kewalian), beliau
menjawab, “Ketika aku berusia sepuluh tahun, kulihat para malaikat berjalan
mengiringiku dalam perjalanan menuju madrasah, dan mereka selalu berkata, “Beri
jalan untuk Wali Allah.” Kejadian itu terus menerus berulang sampai aku paham
bahwa aku dianugerahi walayah.”
Berpisah
dengan Sang Bunda
Adalah Syekh Muhammad bin Qa’id
al-Awani yang berkata, bahwa al-Jailani muda meminta izin kepada sang Bunda
untuk pergi ke Baghdad menimba ilmu, beliau berkata “Bunda, berilah aku
kesempatan untuk menuju Allah Swt. Izinkan aku pergi ke Baghdad, di mana aku
akan berusaha memperoleh ilmu pengetahuan dan di sana aku akan bertemu dengan
orang-orang shalih.” Sang Bunda menangis mendengar beliau akan pergi, kemudian
masuk ke dalam kamar dan mengambil uang sebanyak delapan puluh dinar. Uang itu
adalah warisan dari ayahanda beliau. Kemudian sang Bunda memasukkan uang
tersebut ke dalam saku beliau empat puluh dinar, dan sisanya dimasukkan ke saku
baju mantel beliau. Sang Bunda meminta beliau berjanji untuk selalu berlaku
jujur dalam keadaan apapun. Ketika sang Bunda mengantar beliau sampai di depan
pintu rumah, sang Bunda mengucapkan selamat tinggal dan berkata, “Anakku,
pergilah, karena aku telah melepaskan engkau demi mencari Allah. Aku tahu,
mungkin aku tidak akan bertemu lagi dengan wajahmu hingga hari kebangkitan
kelak.” Maka pergilah beliau menuju Baghdad.
Sejarah hidup beliau terus berlanjut
sampai akhirnya beliau menetap di Baghdad, dan waktu itu umur beliau 18th.
Pada masa itu, khalifah yang berkuasa di Baghdad adalah al-Mustazhir. Ketika
beliau akan memasuki kota Baghdad, beliau dihadang oleh al-Khidir sembari
berkata kepadanya, “Aku tidak akan pernah mengizinkan kamu masuk ke kota
Baghdad sampai tujuh tahun ke depan.” Beliau akhirnya tinggal di pinggiran
sungai tigris selama tujuh tahun dengan hanya memakan dedaunan dari jenis yang
boleh dimakan sampai suatu kali leher beliau berubah warna menjadi hijau.
Pada suatu malam beliau mendengar
suara yang mengatakan, “Wahai ‘Abdul Qadir al-Jailani, sekarang masuklah ke
Baghdad.” Setelah mendengar suara itu, beliau segera memasuki Baghdad. Malam
itu cuaca sangat dingin dan hujan, maka ‘Abdul Qadir al-Jailani mendekati zawiyah
(pondokan sufi) Syekh Hammad bin Muslim ad-Dabbas. Akan tetapi, Syekh Hammad
berkata kepada muridnya, “Kuncilah pintu zawiyah, tetapi buatlah cahaya
lampu tetap menyinari ke arah luar zawiyah.”
‘Abdul Qadir al-Jailani hanya duduk
di samping pintu, lalu Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan kantuk
kepadanya hingga beliau tertidur. Saat terbangun, beliau dalam keadaan hadats
besar (mimpi basah), maka dengan segera beliau mandi besar. Kemudian Allah ta’ala
menurunkan kantuk lagi kepada beliau, dan beliau pun tertidur lagi. Saat
bangun, beliau hadats besar lagi, lalu beliau segera mandi besar lagi. Demikian
itu terjadi berulang-ulang hingga 17 kali. Akhirnya, ketika fajar menyingsing,
pintu zawiyah terbuka dan ‘Abdul Qadir al-Jailani melangkah masuk.
Syekh Hammad ad-Dabbas segera
melangkah maju menyambut beliau, lalu memeluk erat beliau, dan memberi beliau
rangkulan yang hangat. Airmata menetes di pipi Syekh al-Dabbas sembari ia
berkata, “Oh anakku, ‘Abdul Qadir al-Jailani, hari ini adalah tanggungjawab
kami di sini (zawiyah ini), jika nanti kamu telah memegangnya, maka bimbinglah
si tua yang rambutnya telah memutih ini.”
Para
Guru Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani
‘Abdul Qadir al-Jailani memperoleh
latihan spiritual di Baghdad dari dua sufi terbesar di zaman itu, Syekh
Sayyid Abu al-Khair Hammad bin Muslim ad-Dabbas dan Syekh Qadhi Abu Sa’id
Mubarak al-Makhzumi. Meskipun beliau memperoleh banyak berkah dari kedua guru
tersebut, namun beliau belum memberi baiat alias menduduki posisi
mursyid.
Kemudian beliau menjadi murid Syekh
Qadhi Abu Sa’id Mubarak al-Makhzumi sekaligus bergabung dalam halaqah dan
tarekatnya. Syekh Qadhi Abu Sa’id al-Makhzumi menunjukkan rasa cintanya yang
sangat besar terhadap murid istimewanya ini, dan memberkahinya dengan
mutu-manikam spiritualis dan tasawuf. Suatu kali ‘Abdul Qadir al-Jailani dan
para murid yang lain sedang duduk bersama dengan Syekh, kemudian Syekh meminta
‘Abdul Qadir al-Jailani untuk pergi mengambil sesuatu. Setelah ia pergi, Syekh
al-Makhzumi berkata kepada murid-muridnya yang lain, “Suatu hari nanti,
kaki pemuda itu akan menginjak tengkuk semua Auliya’ (para wali Allah).”
Setelah beberapa waktu tinggal di
Baghdad, ‘Abdul Qadir al-Jailani mengikuti pendidikan di Jami’ah Nizhamiyah
yang tersohor sebagai pusat pendidikan dan ilmu keruhanian di dunia Islam.
‘Abdul Qadir al-Jailani menuntut ilmu dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan.
Di antara guru-guru beliau yang memberikan ilmu Qira’at, Tafsir, Hadits, Fiqih,
Syari’at, dan Tarekat adalah: Abul Wafa’ ‘Ali bin ‘Aqil, Abu Zakaria Yahya bin
‘Ali at-Tabrizi, Abu Sa’id bin ‘Abdul Karim, Abul Ana’im Muhammad bin ‘Ali bin
Muhammad, Abu Sa’id bin Mubarak al-Makhzumi, dan Abul Khair Hammad bin Muslim
ad-Dabbas.
Dalam bidang adab salah satu guru
beliau yang merupakan seorang ‘Alim besar pada masa itu ialah al-‘Allamah
Zakariya at-Tabrizi. Dan dalam bidang Fiqih dan ushul Fiqih guru-guru beliau
adalah: Syekh Abul Wafa’ bin ‘Aqil al-Hanbali, Abul Hasan Muhammad bin Qadhi
Abul Ula, Syekh Abul Khatab Mahfuzh al-Hanbali, dan Qadhi Abu Sa’id al-Mubarak
bin Ali al-Makhzumi al-Hanbali. Dalam bidang Hadits, beliau menerima ilmu dari
para ulama sebagai berikut: Sayyid Abul Barakat Thalhah al-Aquli, Abul Ana’im
Muhammad bin ‘Ali bin Maimun al-Farsi, Abu ‘Uthman Isma’il bin Muhammad
al-Ishbihani, Abu Ghalib Muhammad bin Hasan al-Baqillani, Abu Muhammad Ja’far
bin Ahmad bin al-Husaini, Sayyid Muhammad Mukhtar al-Hasyimi, Sayyid abu
Manshur ‘Abdur Rahman al-Qaz’az, dan Abul Qasim ‘Ali bin Ahmad Ban’an
al-Karghi. Setelah menempuh pendidikan dengan tekun, ‘Abdul Qadir al-Jailani
lulus dari Jami’ah Nizhamiyah. Pada masa itu tidak ada satupun ‘Alim di muka
bumi yang lebih faqih dan saleh dibandingkan dengan ‘Abdul Qadir al-Jailani.
Belajar
kepada al-Khidir
Abu as-Sa’ud al-Huraimi mengisahkan,
aku suatu kali mendengar tuan kami Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Aku
tinggal di kawasan padang gersang Irak selama 25th, sebagai pengembara
terasing. Aku tidak tau apa dan siapa saja makhluk yang mengikutiku, dan mereka
juga tidak ingin tau aku. Yang selalu mengunjungiku adalah manusia-manusia dari
alam gaib (rijal al-Ghaib), sebangsa jin. Aku biasa mengajari mereka
tentang jalan menuju Allah Swt. (tarekat).”
Aku juga dipertemukan dengan
al-Khidhir a.s. ketika aku memasuki kota Irak untuk kali pertamanya, meskipun
waktu itu aku tidak tau siapa dia sebenarnya, dan dia pernah berkata kepadaku
bahwa aku tidak boleh menentangnya. Ketika kami mencapai sebuah kawasan, dia
berkata kepadaku, “Duduklah dan tinggallah di sini,” maka aku duduk dan tinggal
di tempat itu sebagaimana dia memerintahkanku. Selama kurun waktu tiga tahun
penuh, dia akan datang kepadaku setiap tahunnya, dan dia berkata kepadaku,
“Tetaplah tinggal di situ sampai aku kembali.” Segala pesona dunia serta daya
tariknya selalu datang kepadaku dalam berbagai bentuk dan tipu muslihat.
Setan-setan juga mendatangiku dalam berbagai wujud serta mengoda dengan
keahliannya. Tidak sedikit dari setan-setan itu yang terlibat perkelahian
denganku, tetapi Allah subhanahu wa ta’ala selalu menguatkanku dalam
menghadapi mereka.
Aku tinggal selama waktu yang lama
di kawasan-kawasan gersang kota-kota Irak. Aku memaksa jiwa rendahku untuk
melakukan tugas-tugas berat melalui metode disiplin spiritual. Kemudian aku
menghabiskan waktu selama satu tahun dengan hanya makan dari sisa-sisa sampah
tanpa minum air sedikitpun, kemudian selama satu tahun berikutnya sambil minum
air. Kemudian selama satu tahun penuh dengan hanya minum air, tetapi tanpa
menyantap apapun, dan di tahun berikutnya aku tidak minum, tidak juga
makan, dan tidak tidur sama sekali. Aku juga bermukim selama beberapa tahun di
kawasan gersang nan tandus di sebuah daerah pinggiran kuno kota Baghdad, di
mana satu-satunya sumber makananku adalah dedaunan lontar. Pada setiap awal
tahun, seseorang akan datang kepadaku dengan mengenakan jubah yang terbuat dari
wol.
Aku sudah memasuki seribu lebih
kondisi wujud yang berbeda-beda, dengan tujuan untuk membebaskan diri dari
dunia milik kalian ini, dan keadaan yang menimpaku itu hanya dapat dipandang
sebagai bentuk ketololan, kegilaan, dan ketidakwarasan. Aku biasa berjalan
tanpa alas kaki, melewati onak duri, kerikil tajam, dan tempat-tempat berbahaya
sejenisnya. Tidak pernah sekalipun jiwa rendahku menang atas diriku, tidak juga
ada satupun kemilau dunia yang mampu mengodaku”.
Ujian
dari al-Khidir
Beliau, al-Khidhir, datang kepadaku
untuk memberikan suatu ujian, sebagaimana ia telah menguji para wali-wali Allah
yang lain sebelumku. Dia menyingkap kepadaku rahasia dari wujudnya dengan cara
menampakkan wawasan menuju materi-materi yang aku dapatkan bersamanya, kemudian
aku berkata kepadanya, “Wahai Khidhir, jika benar engkau pernah berkata pada
Musa a.s. (kamu tidak akan pernah dapat bersabar bersamaku), maka sekarang aku
akan katakan kepadamu, “Wahai Khidhir, bahwa kamu tidak akan pernah bersabar
bersamaku, kamu seorang Israili, sementara aku adalah seorang Muhammadi, inilah
kita, kamu dan aku, dan ini adalah bola polonya, celanaku masih terikat kuat
dan pedangku belum disarungkan.”
Anugerah
Jubah Sufi
Beliau juga berkata, “Selama sebelas
tahun aku membetahkan diriku tinggal direruntuhan benteng yang saat ini disebut
menara Persia. Tempat itu menjadi pemukiman panjangku. Di tempat itu aku
membuat perjanjian dengan Allah Swt. bahwa aku tidak akan pernah makan sampai
akhirnya ada yang menyediakan makanan buatku, dan aku tidak akan pernah minum
sampai ada yang memberiku sarana untuk memuaskan dahagaku. Kemudian aku tinggal
di situ selama empat puluh hari tanpa makan dan minum. Pada hari keempat puluh,
datang seorang laki-laki membawa sepotong roti dan beberapa makanan, dia
meletakannya di depanku dan segera beranjak pergi meninggalkanku sendiri.
Nafsuku kemudian cepat-cepat memaksakan keinginan untuk menyambar makanan
tersebut, maka aku katakana, “Demi Allah, makanan ini tidak sejalan dengan
perjanjian yang aku ikrarkan kepada Allah,” kemudian di dalam batinku aku
mendengar suara yang keras dan berteriak, “Lapar!” tapi aku tetap menolak untuk
menurutinya.
Kebetulan pada saat itu Syekh Abu
Sa’id al-Makarimi melintas di depanku dan mendengar suara teriakan itu, lalu ia
mendekatiku dan bertanya kepadaku, “Apa arti teriakan tadi, wahai ‘Abdul Qadir
al-Jailani?” Aku menjawab, “Tadi itu hanyalah bisikan jiwa rendahku, seperti
halnya ruh, ia akan reda dengan sendirinya.” Kemudian ia berkata kepadaku,
“Datanglah ke gerbang Al-Azaj.” Lalu ia pergi meninggalkanku, dan aku berkata
kepada diriku sendiri, “Aku tidak akan pernah meninggalkan tempat ini, kecuali
Tuhan sendiri yang memerintahkanku.”
Kemudian al-Khidhir a.s. datang
kepadaku dan berkata, “Bangunlah dan pergilah ke Abu Sa’id al-Makarimi.” Maka
akupun bergegas pergi, dan di sana aku menjumpainya sedang berdiri di depan
rumahnya tengah menanti kedatanganku. “Wahai ‘Abdul Qadir al-Jailani,” katanya
kepadaku, “Apakah belum cukup bagiku ketika aku katakana, “Datanglah kepadaku,”
kemudian ia menganugerahkan jubah sufi dengan tangannya sendiri, dan semenjak
saat itu, aku dengan tekun membaktikan diriku kepadanya, dan menjadi muridnya
yang rajin. Semoga Allah meridhoinya.
Melayang
saat Berdakwah
Al-Khatab, pembantu Syekh ‘Abdul
Qadir al-Jailani, berkata: suatu hari ketika Syekh sedang memberikan ceramah,
beliau tiba-tiba naik beberapa langkah ke angkasa dan beliau berkata, “Wahai
Israil, berhentilah dan dengarkan kata-kata Sang Muhammad!” Kemudian beliau
kembali ke tempat duduknya semula. Ketika beliau diminta untuk menjelaskan
kejadian tersebut, beliau menjawab, “Abu al-Abbas al-Khidhir berada di atas
sana. Tadi ia sedang melintasi majelis kita ini, maka aku memintanya berhenti
dan berkata kepadanya apa saja yang aku dakwahkan kepada kalian semua.”
Diludahi
Nabi Saw. Tujuh Kali, Ali Enam Kali
Ini diriwayatkan oleh Syekh Abu Muhammad al-Juba’I, bahwasannya beliau Syekh
Abdul Qadir al-Jailani berkata, “Aku suatu kali berjumpa dengan Rasulullah Saw.
dalam penampakan ruhani sebelum waktu zuhur, dan beliau Saw. berkata kepadaku,
“Wahai anakku terkasih, kenapa engkau tidak berbicara (berdakwah) kepada
manusia?” Maka aku menjawab, “Wahai bapakku terkasih, aku adalah seorang ‘Ajam
(bukan orang Arab), lalu bagaimana aku bisa berkata-kata dengan fasih di tengah-tengah
orang Baghdad yang jelas mereka pandai berbahasa Arab.” Kemudian beliau Saw.
Berkata, “Sekarang, bukalah mulutmu!” Maka aku membuka mulutku lebar-lebar, dan
beliau meludahiku sebanyak tujuh kali. Kemudian beliau Saw. berkata kepadaku,
“Kamu harus berdakwah kepada manusia sekarang, ajaklah mereka menuju jalan
Allah dengan hikmah dan nasihat yang baik.” Aku kemudian menunaikan shalat
zuhur, dan kemudian aku duduk setelah itu hendak berceramah, namun aku masih
kehilangan kata-kataku. Kemudian aku melihat penampakan Sayidina ‘Ali kwh., dan
beliau berkata, “Bukalah mulutmu!” Aku lalu membuka mulutku, dan beliau
meludahiku sebanyak enam kali, lalu aku bertanya kepada beliau, “Kenapa engkau
tidak meludahiku sebanyak tujuh kali seperti halnya Rasulullah Saw. Melakukannya?”
Beliau menjawab, “Sebagai adab penghormatanku kepada Rasulullah.” Setelah
mengucapkan kata-kata itu, beliau pergi.
Menghilang
ke Balik Matahari
Pengasuh Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani menceritakan, bahwa sewaktu beliau masih
kecil seringkali ketika dia menggendong sang Syekh, mendadak beliau sudah tidak
ada lagi di tangannya. Dia mengatakan, bahwa kemudian dia melihat Syekh ‘Abdul
Qadir al-Jailani terbang ke langit dan bersembunyi di balik cahaya matahari.
Ketika Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani
sudah dewasa, sang pengasuhnya mengunjunginya dan bertanya, apakah beliau masih
sering melakukan hal yang dulu sewaktu kecil beliau lakukan. Kemudian Syekh
‘Abdul Qadir al-Jailani menjawab, “Itu dulu ketika aku masih kecil, dan pada
waktu itu aku masih lemah, maka aku bersembunyi di balik matahari, namun kini
daya dan kekuatanku telah sedemikian besar, sehingga bila 1000 matahari dating,
pasti mereka semua akan bersembunyi di balik diriku.”
Bertarung
Melawan Setan, Iblis, dan Hawa Nafsu
Kisah ini diriwayatkan oleh Syekh
‘Utsman as-Sirafani, baliau berkata, Aku suatu kali mendengar tuan kita, Syekh
‘Abdul Qadir al-Jailani berkata:
“Aku pernah bermukim sendirian di
sebuah kawasan gersang. Setiap hari dan setiap malam setan-setan sering datang
kepadaku berbaris-baris dalam wujud manusia jadi-jadian yang membawa berbagai
macam senjata serta memikul berbagai benda yang berbunyi sangat keras. Mereka
terlibat perkelahian denganku dan melempariku dengan bola api. Saat menghadapi
keadaan seperti itu, aku mendapati di dalam hatiku suatu rasa tentram yang
sulit terucapkan dengan kata-kata, aku mendengar suara dalam hatiku yang
berkata, “Berdirilah dan serang mereka wahai ‘Abdul Qadir al-Jailani, karena
Kami selalu siap menambah kekuatanmu, dan Kami akan datang dengan pasukan yang
tidak mungkin terkalahkan oleh mereka.” Dan saat aku melemparkan satu serangan
kepada para setan itu, mereka sontak berlari tunggang langgang dan pergi
menghilang.
Setelah itu, ada sesosok setan
datang dari tengah-tengah para setan yang berlari menjauh dariku. Setan itu
menghampiriku dan berkata kepadaku, “Pergilah dari sini atau aku akan melakukan
begini dan begitu kepadamu.” Dia memperingatkanku akan akibat apa saja jika aku
tidak pergi dari wilayah itu, maka kemudian aku menamparnya dengan tanganku dan
diapun melarikan diri dariku, lalu aku berucap, “Tidak ada daya dan kekuatan
kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.” Setan itu diterkam
oleh api dan aku melihatnya terbakar hangus.
Pada waktu yang lain, aku didatangi oleh
sosok yang penampilanya benar-benar menakutkan, dan bau badannya sangat
menjijikkan, baunya sangat bacin dan memuakkan, dia berkata kepadaku, “Aku
adalah iblis. Aku datang kepadamu dengan maksud untuk menjadi budakmu, karena
kamu telah berhasil menggagalkan segala upayaku dan mengalahkan pengikutku.”
Aku berkata kepadanya, “Pergilah! karena aku tidak percaya sama sekali
kepadamu.” Tapi pada saat itu sebuah tangan turun dari sisi iblis dan memukul
tengkorak kepalanya dengan kekuatan yang sangat besar hingga membuat iblis itu
terjungkal keras melesat ke dalam tanah, dan dia pun menghilang entah ke mana.
Iblis itu datang kembali kepadaku
untuk kedua kalinya dengan membawa anak panah api di tangannya dan hendak
menyerangku, tetapi dengan cepat seseorang yang memakai jubah penutup kepala
lari menuju diriku dengan menaiki kuda berwarna kelabu dan dengan tangkas
melemparkan pedang kepadaku. Melihat itu, iblis secepat kilat langsung lari
terbirit-birit dari hadapanku.
Dan ketika aku bertemu dengannya
lagi untuk yang ketiga kalinya, iblis itu sedang duduk dengan jarak yang agak
jauh dariku, berlinangan air mata, sekujur tubuhnya dipenuhi oleh debu, dan ia
berkata, “Aku sungguh telah putus asa menghadapi orang sepertimu, wahai ‘Abdul
Qadir al-Jailani.” Aku lalu berkata kepadanya, “Enyahlah kau dari sini, sang
terkutuk! karena aku tidak akan pernah berhenti membentengi diriku sendiri
(dengan perlindungan Allah) untuk melawanmu. Dan dia berkata, “Apa yang telah
kau ucapkan itu lebih menyakitkan bagiku ketimbang jepitan besi neraka.”
Menembus
Jarak
Diriwayatkan dari Syekh Umar, beliau
berkata: aku suatu kali mendengar tuan kami Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani
bercerita:
keadaan ruhani (ahwal) pernah
datang kepadaku tanpa terduga sama sekali. Pada awal masa-masa aku melakukan
pengembaraan dan berada di padang tandus di wilayah Baghdad, aku berlari
melewati jarak kira-kira satu jam perjalanan, dan aku benar-benar tidak sadar
bahwa aku sedang berlari, saat aku kembali dalam kesadaranku yang normal, aku
mendapati diriku sampai di kawasan Syastar, di mana jarak tersebut dengan
Baghdad kira-kira sekitar dua belas hari perjalanan. Ketika sampai di sana, aku
berdiri dan melihat-lihat sekeliling, lalu seorang wanita datang kepadaku
sambil berkata, “Apakah yang kamu alami itu membuatmu terkejut dan heran,
padahal kamu tidak lain adalah ‘Abdul Qadir al-Jailani?!”
Melihat
al-Lauh al-Mahfudz
Tertulis dalam riwayat, bahwa Syekh
Abul Hafash menyatakan, “Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani biasa melayang di udara
dan berkata ‘Matahari tidak pernah terbit tanpa mengucapkan salam kepadaku.
Demi kemuliaan dan murka Allah, aku melihat semua manusia yang baik maupun yang
jahat, mataku tertuju pada al-Lauh al-Mahfudz. Berkali-kali aku menyelam ke
samudera ilmu dan kebijaksanaan yang dianugrahkan oleh Allah, dan akulah
kebaikan murni Allah kepada manusia dan utusan khusus kakekku, Rasulullah Saw.,
dan akulah khalifah beliau di bumi.”
Kuasa
atas Raja Jin
Syekh Abu Futub Muhammad bin Abul
‘Ash Yusuf bin Isma’il bin Ahmad ‘Ali Qarsyi at-Tamimi al-Bakari al-Baghdadi
meriwayatkan, bahwa suatu ketika Syekh Abu Sa’id ‘Abdullah bin Ahmad bin
Muhammad al-Baghdadi al-Azja’i datang kepada Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani dan
mengatakan bahwa putrinya yang berusia 16th, Fatimah yang sangat
cantik, kemarin naik ke tingkat rumah, tapi tiba-tiba dia lenyap dari sana.
Ketika Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani mendengar hal ini, beliau menghiburnya dan
mengatakan kepadanya agar tidak perlu khawatir.
Sang Wali Agung kemudian
memerintahkan dia untuk pergi ke sebuah hutan pada malam hari. Syekh ‘Abdul
Qadir al-Jailani menyatakan bahwa di dalam hutan dia akan melihat banyak
gundukan pasir. Dia harus duduk di gundukan pasir keenam yang dilewatinya, dan
harus membuat sebuah gambar lingkaran di sekeliling dirinya sambil berkata,
“Bismillah,” dan kemudian berkata, “Abdul Qadir.”
Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani
berkata, “Menjelang sepertiga malam terakhir kau akan melihat pasukan jin
berlalu. Mereka tampak sangat mengerikan dan ganas, tetapi engkau tak perlu
takut, engkau harus tetap duduk dan menunggu. Tepat pada saat cahaya matahari
pertama tampak, raja jin yang paling berkuasa akan lewat, dan dia akan
menghampirimu lalu menanyakan permasalahanmu. Jelaskanlah permasalahanmu
kepadanya, dan katakan bahwa aku yang mengutusmu. Beritahukan kepada raja jin
itu tentang putrimu yang hilang.”
Syekh Muhammad al-Baghdadi berkata,
“Aku mengerjakan apa yang Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani perintahkan. Aku duduk
di gundukan pasir tersebut dan menunggu. Setelah beberapa waktu, aku melihat
pasukan jin dalam rupa-rupa yang mengerikan melintas. Mereka sangat marah
kepadaku karena aku duduk di tengah-tengah jalannya, namun mereka tetap berlalu
tanpa mengucap sepatah katapun, karena mereka tidak berani memasuki lingkaran
tersebut. Pada waktu fajar, sang raja jin melintas, lalu menanyakan
permasalahanku. Ketika aku mengatakan bahwa yang mengutusku adalah Syekh ‘Abdul
Qadir al-Jailani, maka dia segera turun dari kudanya dan berdiri dengan penuh
hormat mendengarkan perkataanku, lalu dia mengutus para jin untuk mencari jin
yang telah menculik putriku. Akhirnya, putrikupun kembali, dan jin yang telah
menculik putriku itu dihukum oleh sang raja jin.”
Pengakuan
360 Wali
‘Abdullah al-Jubbai suatu kali
berkata: “Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani memiliki seorang murid bernama ‘Umar
al-Hawali, dia meninggalkan Baghdad dan tinggal di tempat lain selama beberapa
tahun. Ketika ia akhirnya kembali ke Baghdad, maka aku berkata kepadanya,
“Sekian lama ini kamu berada di mana?” Dia menjawab, “Aku mengembara
menyinggahi kota-kota di Suriah, Mesir, Persia, dan aku bertemu dengan tiga
ratus enam puluh Syekh, yang kesemuanya adalah para wali Allah. Tidak ada
seorangpun dari mereka yang tidak berkata, “Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani
adalah Syekh kami, dan merupakan pembimbing teladan kami menuju Allah Swt.”
Syekh Hammad ad-Dabbas konon
berkata, “Ketika Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani yang pada waktu itu masih
remaja, disebut dalam majelisnya “Aku melihat dua tanda di kepalanya, yang
terpasang tegak di antara kebinatangan terendah dan kedaulatan tertinggi. Dan
aku telah mendengar tentara kerajaannya memangil-mangilnya dengan suara yang
keras lagi jelas pada cakrawala tertinggi. Semoga Allah meridhoinya.”
Syekh Hammad ad-Dabbas kemudian
berkata, “Kamu adalah penghulu para ‘Arifin di zamanmu nanti. Panjimu tertancap
kuat untuk dibentangkan, baik dari kawasan timur sampai kawasan barat. Pundak
orang-orang di zamanmu akan tunduk di bawah kendalimu, dan kamu akan diangkat
pada suatu tingkatan spiritual yang mengungguli semua orang yang sebaya
denganmu.”
Pernyataan
“Kakiku Berada di Tengkuk Para Wali”
Diriwayatkan oleh al-Hafidz Abu
al-Izz ‘Abd al-Mugtis bin Harb al-Baghdadi beserta banyak lagi lainya, “Kami
menghadiri majelis Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani. Di ruang tamu beliau banyak
sekali para Syekh dan wali yang mengikuti majelis beliau waktu itu. Ada sekitar
kurang lebihnya empat puluh tujuh para Syekh, dan masih banyak lagi yang berada
dalam majelisnya. Ketika Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani berbicara, tampak sekali
hati beliau dalam keadaan kesadaran penuh, yakni ketika beliau menyatakan, “Kakiku
Berada di Atas Tengkuk Para Wali Allah.” Syekh ‘Ali bin al-Haiti
melangkahkan kakinya saat itu juga, lalu naik beberapa langkah ke mimbar Sang
Syekh, di mana kemudian dia memegang kaki Sang Syekh dan meletakkannya di atas
tengkuknya sembari memposisikan kepalanya di bawah keliman jubah Syekh. Semua
yang hadir di situpun membungkuk seperti yang dilakukan oleh Syekh al-Haiti.
Dan tidak ada satupun seorang wali Allah di muka bumi ini yang pada saat itu
tidak menundukkan tengkuknya sebagai pengakuan tulus terhadap Syekh ‘Abdul
Qadir al-Jailani, serta sebagai penghormatan kedudukan ruhani beliau yang
khusus. Ada 300 auliya’ Allah dan 700 rijaul ghaib yang hadir di
majelis itu. Bahkan kumpulan para jin berkumpul pada saat itu. Para jin shalih
tersebut keluar dari segala penjuru cakrawala demi menghormati pernyataan
beliau tersebut. Mereka mengucapkan selamat kepada Syekh ‘Abdul Qadir
al-Jailani dan menunjukkan laku taubat melalui tangan beliau.
Syekh al-Makarimi menyatakan, “Pada
hari itu, seluruh Wali Allah tahu, bahwa panji kesultanan wali telah
tertancapkan di sisi Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani. Semua wali dari timur
hingga barat serentak membungkukkan badan mematuhi pernyataan beliau ini.”
Sayyid Syekh Khalifatul Akbar
berkisah, “Aku bermimpi bertemu dengan Rasul Saw. tercinta, dan aku bertanya
kepada beliau tentang pernyataan Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani tersebut. Rasul
Saw. Menjawab, “‘Abdul Qadir al-Jailani telah mengatakan hal yang sebenarnya,
karena dia sang Quthb, dan dia kuberikan tempat di bawah sayapku dan dalam
perlindunganku.”
“baca selengkapnya dalam buku
“MENYINGKAP TABIR KESEJATIAN ROBBANI” Penerbit DIAMOND.
artikelnya panjang banget
BalasHapussubhanallah sangat bermanfaat bagi saya khususx lebih mengenal tuanku Syeks abdul Qodir al jailani...terimakasih atas ilmux semoga mendapatkan pahala disisih Allah s.w.t...amin
BalasHapusBuku apa yang harus kami baca untuk lebih mengenal beliau?
BalasHapusArtikele kok ada yg kurang pas soal Tauhid...Soal Alloh berada dimana dll
BalasHapus